Jumat, 25 Mei 2012

A. Pendahuluan


* Penerapan kurikulum 2006 (KTSP) menuntutkan aktivasi dan partisipasi para siswa yang lebih banyak dalam proses pembelajaran, struktur kurikulum tingakat satuan pendidikan berbeda dari kurikulum sebelumnya, KTSP dirancang sedemikian rupa, sehingga tidak ada lagi jam efektif yang begitu mencolok banyaknya. Kurikulum sebelumnya,sebagian mata pelajaran memiliki waktu yang banyak, sebagian mata pelajaran yang lain memiliki waktu yang banyak, sebagian mata pelajaran memiliki waktu yang sedikit dengan alasan urgen dan padatnya materi.


Dalam struktur kurikulum untuk jenjang SD/MI hanya dua mata pelajaran yang memiliki 5 jam per minggu, yaitu Bahasa Indonesia dan Matematika, sedangkan Ilmu Pengetahuan Alam, Seni Budaya dan Keterampilan, dan Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan masaing-masing 4 jam. Mata pelajaran pendidikan Agama dan Ilmu Pengetahuan Sosial masing-masing 3 jam, dan mata pelajaran lain masing-masing 2 jam per minggu. Untuk jenjang SMP/MTs dan SMA/MA kelas X hanya ada tiga mata pelajaran yang alokasi waktu 4 jam, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Dengan ketersediaan waktu seperti di atas, dan maka terasa berat untuk mencapai target materi. Penekanan KTSP bukan mengejar target materi. Penekanan KTSP bukan mengejar target materi tetapi memaksimalkan proses dalam pembelajaran dan mengembangkan kompetensi siswa, apalah arti bila materi tercapai dengan proses yang tidak maksimal, akan tetapi dengan proses pembelajaran yang maksimal akan membuahkan hasil (out put) yang berkualitas. UNESCO mensosialisasikan tentang kewajiban belajar, sebagai berikut:


* Learning to know (berpengetahuan)
* Learning to do (berbuat/bekerja)
* Learning to be (menjadi diri sendiri)
* Learning to life together ( hidup bermasyarakat)

Maka oleh sebab itu para siswa harus melakukan kegiatan belajar terstruktur secara mandiri (sendiri atau dalam keadaan kelompok) serta mempelajari mata pelajaran secara mandiri. Kedua kegiatan belajar ini dilakukan tanpa kehadiran guru secara fisik, namun guru tetap diharapkan memberi bimbingan belajar bagi siswaa dalam melakukan kegiatan tersebut.


B. Definisi Belajar Mandiri

Sebagian fakar mengatakan bahwa belajar mandiri sama dengan belajar individual. Brookfield (1984), Knowles (1975), Kozma, Belle Williams (1978) mendefinisikan belajar mandiri adalah upaya individu secara otonomi untuk mencapai kemampuan akademis. Namun demikian skinner mengatakan bahwa eblajar individual bukan belajar mandiri, akan tetapi sistem belajar individual merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan dan meningkatkan proses balajar mandiri peserta didik.

Belajar mandiri adalah belajar yang dilakukan oleh siswa secara bebas menentukan tujuan belajarnya, arah belajarnya, merencanakan proses belajarnya, strategi belajarnya, menggunakan sumber-sumber belajar yang dipilihnya, membuat keputusan akademik,dan melakukan kegiatan-kegiatan untuk tercapainya tujuan belajarnya (Brookfield, 1984 dalam Paulina Panen, 1997; 5 – 4).

Belajar mandiri adalah cara belajar aktif dan partisipatif untuk mengembangkan diri masing-masing individual yang tidak terikat dengan kehadiran guru, dosen, pertemuan tatap muka di kelas, kehadiran teman sekolah. Belajar mandiri merupakan belajar dalam mengembangkan diri, keterampilan dengan cara tersendiri. Peran guru dan dosen sebagai fasilitator dan konsultan sebagaimana yang diamanatkan dalam KTSP. Guru bukanlah satu-satu sumber ilmu, dan dapat mempergunakan apa saja sumber dan media untuk belajar.

Belajar mandiri membutuhkan motivasi, keuletan, keseriusan, kedisiplinan, tanggung jawab, kemauan, dan keingin tahuan untuk berkembang dan maju dalam pengetahuan. Banyak informasi-informasi lain yang tidak tersosialisasi oleh guru dan dosen di kelas diakibatkan oleh keterbatasan sumber, pengetahuan, dan pengalaman. Alvin Tofler mengatakan “siapa yang banyak menguasai informasi, maka dialaah yang menguasai dunia”. Demikian juga Wahyu yang pertama diterima Rasulallah SAW. Adalah “Iqra”, perintah untuk membaca, membaca tentang ayat-ayat Allah (kekuasaan Allah).

Belajar mandiri artinya belajar yang bebas menentukan arah, rencana, sumber, dan keputusan untuk mencapai tujuan akademik bukan bebas dari aturan-aturan keagamaan, aturan-aturan negara, aturan-aturan adat atau masyarakat.

C. Manfaat Belajar Mandiri

Betapa besar manfaat belajar mandiri belumlah banyak dirasa oleh peserta didik, karena belajar mandiri ini belum tersosialisasi di kalangan peserta didik, budaya belajar mandiri belum begitu berkembang di kalangan para siswa di Indonesia, mereka masih beranggapan bahwa guru satu-satunya sumber ilmu, akan tetapi sebagian mereka yang berhasil dalam belajar karena memanfaatkan belajar mandiri atau belajar yang tidak terfokus kepada kehadiran sang guru, tatap muka di kelas, dan kehadiran teman. Indikator ini dapat kita lihat pemberdayaan perpustakaan sekolah, di mana perpustakaan sekolah dikunjungi oleh siswa tertentu, bahkan ditemui di sebagian sekolah, perpustakaannya berdebu dan kelihatan tidak terurus.

Balajar tatap muka di kelas belumlah cukup untuk menciptakan siswa cerdas dan terampil tanpa dibarengi dengan belajar terstruktur dan belajar mandiri, belajar terstruktur berbeda dengan belajar mandiri, belajar terstruktur adalah para siswa belajar sesuai dengan tujuan, rencana, bahan, dan sumber yang ditentukan oleh guru. Para guru harus memberi dorongan kepada siswa-siswa untuk belajar mandiri, dan menghindari pemberian materi otokratis yang akan menciptakan siswa pasif dan menerima saja atau rote learning (belajar hafalan). Belajar seperti ini sulit mengembangkan kemampuan siswa, para siswa kurang inisiatif, banyak ketergantungan kepada orang lain, kurang mandiri, kurang percaya diri, dan kurang bertanggung jawab.

Ilmu pengetahuan akan bisa didapatkan melalui sumber-sumber, tempat, sarana, peristiwa yang berbeda-beda pula, manusia banyak belajar dan di pengaruhi lingkungan sekitarnya, mungkin seseorang bisa saja belajar dengan sebatang rambutan di depan rumahnya tatkala ia berproses menuju buah, dimulai dari bakal bunga, bunga, putik, buat, matang, dan dinikmati oleh manusia. Proses ini dilalui secara bertahap dan tidak saling melangkahi tahapannya. Demikian juga dengan manusia berproses dalam hidup, pekerjaan, karir, dan lain sebagainya.

Belajar mandiri memiliki manfaat yang banyak terhadap kemampuan kognisi, afeksi, dan psikomotorik siswa, manfaat tersebut seperti di bawah ini;

o Memupuk tanggung jawab

o Meningkatkan keterampilan

o Memecahkan masalah

o Mengambil keputusan

o Berfikir kreatif

o Berfikir kritis

o Percaya diri yang kuat

o Menjadi guru bagi dirinya sendiri


Di samping itu juga manfaat belajar mandiri akan semakin terasa bila para siswa dan mahasiswa menulusuri literatur, penelitian, analisis, dan pemecahan masalah. Pengalaman yang mereka peroleh semakin komplek dan wawasan mereka semakin luas, dan menjadi semakin kaya dengan ilmu pengetahuan. Apalagi bila mereka belajar mandiri dalam kelompok, di sini mereka belajar kerjasama, kepemimpinan, dan pengambilan keputusan.

Carl R. Rogers seorang ahli psikoterapi mengemukakan suatu cara mendidik yang perlu mendapat perhatian kita sebagai guru dan pendidik. Siswa-siswa tidak hanya secara bebas, artinya tanpa dipaksa menyelesaikan tugas-tugas dalam waktu tertentu, akan tetapi juga belajar membebaskan dirinya untuk menjadi manusia berani memilih sendiri apa yang dilakukannya dengan penuh tanggung jawab.

Pendapat di atas ini untuk mengembangkan kompetensi siswa, setiap siswa memiliki kompetensi yang harus dikembangkan, baik itu kompetensi yang nyata, jelas, dan kompetensi yang samar-samar. Anak merupakan amanah Allah yang mesti diselamatkan secara fisik dan mental agar mereka menjadi manusia yang mandiri, bebas, berani, dan menjadi manusia menurut keinginan dan pilihannya. Belajar mandiri melepaskan diri siswa dari belenggu tekterkaitan dengan orang lain, pendapat orang lain, paksaan, keinginan, dan harapan orang lain, akan tetapi menjadi dirinya sendiri.

D. Syarat-syarat Belajar Mandiri

Belajar mandiri berbeda dengan belajar terstruktur sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, akan tetapi belajar terstruktur lebih mudah dibandingkan dengan belajar mandiri, belajar mandiri lebih sukar dan dilaksanakan bila syarat-syarat tertentu dapat dipenuhi;


a. Adanya Masalah

Syarat pertama harus adanya masalah yang menarik dan bermakna bagi siswa. Masalah harus riil, aktual dan memiliki kaitan dengan kehidupannya, sehingga menarik bagi siswa untuk mencari jawabannya. Siswa-siswa di sekolah sering diharapkan dengan sejumlah mata pelajaran yang terpaksa mereka menguasainya, akhirnya materi itu terkuasai tetapi tidak bermakna bagi dirinya, mereka mengejar nilai rapor dan ijazah. Belajar mandiri adalah memberi kebebasan pada mereka untuk mencari, mengidentifikasikan, memecahkan, mencari solusi, membandingkan, dan menilai sesuatu masalah yang berkaitan dengan dirinya.

b. Menghargai Pendapat Siswa

Sebagian besar siswa menerima apa yang diajarkan oleh guru, dan banyak juga guru yang menganjur siswa-siswa untuk menghafal (rote learning). Di sekolah-sekolah banyak juga kita menemui siswa-siswa kreatif, aktif, dinamis, idealis yang merupakan hasil dari belajar mandiri mereka, kadang-kadang masih ditemui guru-guru yang belum mampu menerima apa yang tertulis di buku pelajaran tersebut.

Secara psikologis siswa-siswa membutuhkan penghargaan berupa support dan rewards dari guru tatkala mereka mendapatkan sesuatu prestasi di kelas, demikian juga mereka diberi penghargaan dalam bentuk lain, seperti mempresentasikan tentang materi dari hasil bacaan mereka atau dari temuan bacaan mereka, hal ini membuat efek psikologis yang sangat besar terhadap teman sekelas, dan masing-masing mereka merasa terpacu untuk dapat tampil seperti teman-teman yang lain. Kondisi kebanyakan kelas di sekolah waktu belajar masih didominasi oleh guru, sebenarnya kelas waktu belajar harus didominasi oleh para siswa, kondisi yang seperti ini belum banyak terbudaya di lembaga pendidikan kita.

c. Peran Guru

Motto yang lekat pada profesi guru adalah tut wuri handayani, ing madyo mangun karso, ing ngarso sung toludo. Arti motto ini bahwa guru mendorong dari belakang, guru ditengah memberi semangat, guru di depan memberi teladan. Andil keadaan guru sangat besar di kalangan siswa, guru yang akan berubah diperilaku, guru yang memberi pengetahuan, menanam budi pekerti. Pendidikan di sekolah terjadi karena orang tua/wali memiliki keterbatasan waktu, dan lain sebagainya. Sekolah merupakan lingkungan formal yang disediakan untuk mendidik, membimbing, dan melatih anak secara teratur, berencana, dan sistematis.

Guru merupakan wakil dari orang tua dan wali mempunyai kewajiban mengisikan intelektual, sikap, dan keterampilan anak di sekolah. Guru juga sebagai ibu/bapak tempat anak mengadu, bediskusi, bertukar fikiran, memecah masalah, di samping itu juga guru memiliki hak untuk menghukum, melarang, menasehati anak tatkala dia salah. Kesuksesan guru sebagai pendidikan di sekolah berkat kerjasama dengan orang tua di rumah tangga, sebaliknya guru akan sukar mendidik, membimbing, dan melatih anak di sekolah tanpa kerjasama dengan orang tua di rumah tangga. Demikian pula para orang tua akan berhasil mendidik anak-anaknya bila bersenergi dengan guru-guru di sekolah, orang tua sebagai ayah/ibu anak melimpah wewenang kepada para guru di sekolah dalam mendidik anak-anaknya jangan ibarat pepatah masyarakat jambi “ayam dilepas tali diijakkan” artinya pemberian wewenang yang dikendali oleh pemilik (orang tua). Orang tua berperan sebagai alat kontrol dan juga berperan serta mendidik bersama-sama guru di rumah tangga, dan para orang tua memiliki wewenang untuk mengajukan usul dan kritikan kepada guru dalam mendidik yang usul dan kritikan kepada para guru dalam mendidik yang dijembatani oleh komite sekolah dan merupakan wakil dari orang tua para siswa.

Mencipatakan belajar mandiri guru harus mampu bekerjasama dengan orang tua di rumah tangga dan masyarakat di sekitar anak. Kerjasama yang baik ini akan membuahkan hasil berupa anak-anak didik yang berkualitas mandiri. Kita memahami kondisi ekonomi masyarakat, tidaklah semua mereka berkecukupan dalam segi ekonomi, namun kita mensuport semangat menyekolah anak-anak mereka, ekonomi mempengaruhi lingkungan belajar, akan tetapi tidak mutlak. Anak-anak yang mandiri akan mampu lepas dari cengkraman ini walaupun jumlahnya sedikit, mereka yang mandiri menjadi orang-orang yang berhasil dalam hidupny. Demikian juga belajar mandiri, anak-anak sudah banyak tersita waktu belajar di sekolah dan di tempat kursus sehingga pulang mereka ke rumah lelah, maka di sini para orang tua memiliki andil menciptakan suasana belaja rumah tangga, sehingga anak-anak selalu dalam lingkungan balajar yang tidak menjenuhkan, dilakukan alam kondisi yang rilek dan menyenangkan.

Bila kita ingin agar anak didik mau belajar terus sepanjang hidupnya, maka pelajaran di sekolah harus merupakan pengalaman yang menyenangkan baginya. Siswa sering frustasi karena mendapat angka yang rendah di samping teguran, kecaman, dan celaan akan benci terhadap segala bentuk pelajaran formal dan tidak mempunyai cukup motivasi untuk melanjutkan pelajarannya. Tentulah angka-angka yang baik hanya diberikan kepada sejumlah kecil dari siswa-siswa, maka sebagian besar yang mendapat angka rendah dan memahami frustasi akan berhenti belajar dan tidak mengembangkan bakat yang dapat disumbangkan kepada masyarakat. Bila guru dapat membimbing, mendidik, dan melatih anak sehingga berhasil, maka ini merupakan keuntungan besar bagi siswa, orang tua maupun negara.

d. Menghadapi siswa

Guru di sekolah akan selalu berhadapan dengan para siswa/anak didik yang berbeda tingkat umur sesuai dengan jenjang satuan pendidikan dihadapinya. Membimbing, mendidik, melatih pada setiap tingkat tidaklah sama. Nabiyullah Muhammad SAW menganjurkan kepada umatnya agar “berbicara terhadap seseorang sesuai dengan tingkat umur dan fikirannya”. Jhon Dewey seorang tokoh pendidik sosial dan filasuf Amerika (1859 – 1952) mengatakan “jangan menganggap anak kecil seperti orang dewasa yang bertubuh kecil” dan juga;


§ Kita harus mengetahui apa yang ada pada si anak untuk dikembangkan.

§ Kita harus mengetahui kemana potensi-potensi itu harus disalurkan.

§ Semuanya harus diabaikan kepada kehidupan sosial Pendidikan adalah proses sosial.

Dewey menunjuk kepada 4 corak pada anak;

a. Sosial,

b. Suka membentuk/membangun,

c. Suka menyelidiki,

d. Suka kepada kesenian sebagai suatu alat ekspresi.


Perkembangan intelektual anak menurut hasil penelitian J.Piaget (dalam S.Nasution, 2005; 7 – 8) dapat di bagi dalam tiga taraf.

1. Fase pra-operasional, sampai usia 5 – 6 tahun, masa pra sekolah, jadi tidak berkenaan dengan anak sekolah. Anak pada umur ini belum dapat membuat perbedaan yang tegas antara perasaan dan motif pribadinya dengan realitas dunia luar. Misalnya ia mengatakan, matahari bergerak karena dorongan Tuhan, dan bingtang-bintang, seperti ia sendiri, ia harus tidur. Ia belum memahami konsep “reversibility”, misalnya bahwa benda diubah bentuknya, misalnya yang terbuat dari tanah liat, dapat dikembalikan (di-reverse) kepada bentuk semula. Karena itu belum dapat memahami dasar matematika dan fisika yang fundamental, bahwa suatu jumlah tidak berubah bila dibagi dalam ebberapa bagian, atau bahwa berat sesuatu tidak berubah bila bentuknya berubah. Pada taraf iini kemungkinan untuk menyampaikan konsep-konsep tertentu kepada anak sangant terbatas.


2. Fase operasi konkrit. Dengan operasi dimaksud usaha untuk memperoleh data tentang dunia realitas dan mengubahnya dalam fikiran kita sedemikian rupa sehingga dapat disusun atau diorganisasi dan digunakan secara selektif dalam pemecahan masalah-masalah.bola bilyar yang digulingkan ke tepi meja akan dipantulkan menurut sudut bola itu mengenai tepi meja itu. Anak yang berusia 4 – 5 tahun tidak melihat sebagai sesuatu problem masalah. Anak yang lebih tua, misalnya 10 tahun, melihat adanya hubungan itu dan anak yang berumur 13 – 14 tahun dapat melihat bahwa kedua sudut itu sama. Kemampuan anak untuk memahami gejala itu beruntung pada operasi mental masing-masing.


Pada taraf ke –2 ini operasi itu “internalized” artinya dalam menghadapi suatu masalah ia tidak perlumemecahkannya dengan percobaan dan perbuatan yang nyata; ia telah dapat melakukannya dalam fikirannya. Internalisasi ini sangat penting karena dengan itu ia telah memiliki sistem simbiolis yang menggambarkan dunia ini. Namun pada taraf operasi konkrit ini hanya dapat memecahkan masalah yang langsung dihadapinya secara nyata. Ia belum mampu memecahkan masalah yang tidak dihadapinya secara nyata atau konkrit atau yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Ia belum sanggup mengantisipasi hal-hal yang tidak ada. Ia belum dapat melihat kemungkinan-kemungkinan alternatif untuk memecahkan masalah. Pada usia antara 10 – 14 tahun anak itu lambat laun beralih kepada fase ke -3, yaitu fase “formal operations” atau operasional formal.



3. Fase operasi formal. Pada taraf ini anak itu telah sanggup beroperasi berdasarkan kemungkinan hipotesis dan tidak lagi dibatasi oleh apa yang berlangsung dihadapinya atau apa yang telah dialaminya sebelumnya. Ia telah dapat memikirkan variabel-variabel yang mungkin atau hubungan-hubungan yang kemudian dapat diselidiki kebenarannya melalui eksperimen dan obsevasi. Operasi intelektual yang dilakukan oleh anak pada taraf ini telah banyak persamaannya dengan operasi logis yang dilakukan oleh ilmuan atau femikir abstrak. Ia dapat memberikan pernyataan formal tentang ide-ide yang konkrit.


E. Proses Belajar Mandiri

Belajar mandiri bukanlah belajar individual, akan tetapi belajar yang menuntut kemandirian seorang siswa atau mahasiswa untuk belajar. Belajar mandiri pemberian otonomi kepada siswa dan mahasiswa dalam menentukan arah/tujuan belajar, sumber belajar, program belajar, materi yang dipelajarinya, tanpa diatur secara ketat oleh guru atau peraturan. Belajar mandiri adalah upaya mengembangkan kebebasan kepada siswa dalam mendapat informasi dan pengetahuan yang tidak dikendalikan oleh orang lain, belajar seperti ini bukan suatu pekerjaan yang mudah dilakukan setiap siswa, sebagian lebih suka belajar diatur orang lain daripada diatur oelh dirinya sendiri. Kemandirian adalah memerlukan tanggung jawab, mereka yang mandiri adalah mereka yang bertanggung jawab, berinisiatif, memiliki keberanian, dan sanggup menerima resiko serta mampu menjadi guru bagi dirinya sendiri. Akhirnya para siswa dan mahasiswa kelak akan menikmati arti hidup sebenarnya dari pada mereka senantiasa terbelnggu dan selalu diatur oleh orang lain.

Dalam mencipatakan belajar madniri menurut Paulina Pannen (1997; 6 – 7), perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu;

1. Guru atau dosen harus mampu merencanakan kegiatan pembelajaran dengan baik dan teliti, termasuk beraneka ragam tugas yang dapat dipilih untuk dikerjakan oleh siswa dan mahasiswa. Perencanaan kegiatan pembelajaran dan tugas-tugasnya haruss dilakukan sebelum proses pembelajaran dimulai (bukan pada saat kegiatan pembelajaran dan perkuliahan).


2. Perencanaan kegiatan pembelajaran dan tugas-tugasnya harus dilakukan berdasarkan kemampuan dan karakteristik awal siswa dan mahasiswa. Guru dan dosen jua perlu memperhatikan bahwa untuk belajar siswa dah mahasiswa diharap mempunyai keterampilan dalam manfaat sumber belajar yang tersedia. Jadi, guru dan dosen mempersiapkan siswa dan mahasiswa untuk memiliki dan menguasai keterampilan yang diperlukan sebelum meminta mereka belajar mandiri. Misalnya, jika siswa dan mahasiswa diketahuin belum pernah mengadakan penelusuran literatur, maka guru dan dosen perlu memberi bimbingan tentang cara penelusuran literatur sebelum memberi tugas penelusuran literatur. Tugas-tugas hendaknya direncanakan agar tidak terlalu sulti atau terlalu mudah, tetapi mampu menantang kreativitas dan daya fikir siswa dan mahasiswa.


3. Guru dan dosen, dalam rangka penerapan belajar mandiri, perlu memperkaya dirinya terus meneruskan dengan pengetahuan dan keterampilan yang belum dimiliki dan dikuasainya dan juga dengan pengetahuan dan keterampilan yang baru dalam bidang ilmunya. Tugas-tugas yang direncanakan guru dan dosen untuk dikerjakan siswa dan mahasiswa harus dapat dikerjakan oleh guru dan dosen.


4. Selain keterampilan guru dan dosen dalam hal penguasaan ilmu dan perencanaan pembelajaran, belajar mandiri juga menuntut adanya sarana dan sumber belajar yang memadai, seperti perpustakaan, laboratorium, studio, dan lain sebagainya.


Proses belajar mandiri yang diterapkan kepada siswa dan mahasiswa membawa perubahan yang positif terhadap perkembangan intleketualitas mereka, mereka akan mampu beridi atas dirinya sendiri serta menjadi dirinya sendiri. Guru dan dosen bukan sebagai pengendali dalam proses belajar akan tetapi kendali terletak pada diri mereka sendiri. Guru dan dosen sebagai penasehat yang memberi pengarahan kepada siswa dan mahasiswa, dengna pengarahan siswa dan mahasiswa dapat menentukan tujuan belajarnya, arahan belajarnya, strategi pencapaian tujuan belajar, dan sumber-sumber yang digunakan untuk mendukung proses belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar