A. Pendahuluan
* Penerapan kurikulum 2006 (KTSP) menuntutkan
aktivasi dan partisipasi para siswa yang lebih banyak dalam proses
pembelajaran, struktur kurikulum tingakat satuan pendidikan berbeda dari
kurikulum sebelumnya, KTSP dirancang sedemikian rupa, sehingga tidak
ada lagi jam efektif yang begitu mencolok banyaknya. Kurikulum
sebelumnya,sebagian mata pelajaran memiliki waktu yang banyak, sebagian
mata pelajaran yang lain memiliki waktu yang banyak, sebagian mata
pelajaran memiliki waktu yang sedikit dengan alasan urgen dan padatnya
materi.
Dalam struktur kurikulum untuk jenjang SD/MI hanya
dua mata pelajaran yang memiliki 5 jam per minggu, yaitu Bahasa
Indonesia dan Matematika, sedangkan Ilmu Pengetahuan Alam, Seni Budaya
dan Keterampilan, dan Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
masaing-masing 4 jam. Mata pelajaran pendidikan Agama dan Ilmu
Pengetahuan Sosial masing-masing 3 jam, dan mata pelajaran lain
masing-masing 2 jam per minggu. Untuk jenjang SMP/MTs dan SMA/MA kelas X
hanya ada tiga mata pelajaran yang alokasi waktu 4 jam, yaitu Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Dengan ketersediaan waktu
seperti di atas, dan maka terasa berat untuk mencapai target materi.
Penekanan KTSP bukan mengejar target materi. Penekanan KTSP bukan
mengejar target materi tetapi memaksimalkan proses dalam pembelajaran
dan mengembangkan kompetensi siswa, apalah arti bila materi tercapai
dengan proses yang tidak maksimal, akan tetapi dengan proses
pembelajaran yang maksimal akan membuahkan hasil (out put) yang
berkualitas. UNESCO mensosialisasikan tentang kewajiban belajar, sebagai
berikut:
* Learning to know (berpengetahuan)
* Learning to do (berbuat/bekerja)
* Learning to be (menjadi diri sendiri)
* Learning to life together ( hidup bermasyarakat)
Maka
oleh sebab itu para siswa harus melakukan kegiatan belajar terstruktur
secara mandiri (sendiri atau dalam keadaan kelompok) serta mempelajari
mata pelajaran secara mandiri. Kedua kegiatan belajar ini dilakukan
tanpa kehadiran guru secara fisik, namun guru tetap diharapkan memberi
bimbingan belajar bagi siswaa dalam melakukan kegiatan tersebut.
B. Definisi Belajar Mandiri
Sebagian
fakar mengatakan bahwa belajar mandiri sama dengan belajar individual.
Brookfield (1984), Knowles (1975), Kozma, Belle Williams (1978)
mendefinisikan belajar mandiri adalah upaya individu secara otonomi
untuk mencapai kemampuan akademis. Namun demikian skinner mengatakan
bahwa eblajar individual bukan belajar mandiri, akan tetapi sistem
belajar individual merupakan salah satu metode yang dapat digunakan
untuk mengembangkan dan meningkatkan proses balajar mandiri peserta
didik.
Belajar mandiri adalah belajar yang dilakukan oleh siswa
secara bebas menentukan tujuan belajarnya, arah belajarnya, merencanakan
proses belajarnya, strategi belajarnya, menggunakan sumber-sumber
belajar yang dipilihnya, membuat keputusan akademik,dan melakukan
kegiatan-kegiatan untuk tercapainya tujuan belajarnya (Brookfield, 1984
dalam Paulina Panen, 1997; 5 – 4).
Belajar mandiri adalah cara
belajar aktif dan partisipatif untuk mengembangkan diri masing-masing
individual yang tidak terikat dengan kehadiran guru, dosen, pertemuan
tatap muka di kelas, kehadiran teman sekolah. Belajar mandiri merupakan
belajar dalam mengembangkan diri, keterampilan dengan cara tersendiri.
Peran guru dan dosen sebagai fasilitator dan konsultan sebagaimana yang
diamanatkan dalam KTSP. Guru bukanlah satu-satu sumber ilmu, dan dapat
mempergunakan apa saja sumber dan media untuk belajar.
Belajar
mandiri membutuhkan motivasi, keuletan, keseriusan, kedisiplinan,
tanggung jawab, kemauan, dan keingin tahuan untuk berkembang dan maju
dalam pengetahuan. Banyak informasi-informasi lain yang tidak
tersosialisasi oleh guru dan dosen di kelas diakibatkan oleh
keterbatasan sumber, pengetahuan, dan pengalaman. Alvin Tofler
mengatakan “siapa yang banyak menguasai informasi, maka dialaah yang
menguasai dunia”. Demikian juga Wahyu yang pertama diterima Rasulallah
SAW. Adalah “Iqra”, perintah untuk membaca, membaca tentang ayat-ayat
Allah (kekuasaan Allah).
Belajar mandiri artinya belajar yang
bebas menentukan arah, rencana, sumber, dan keputusan untuk mencapai
tujuan akademik bukan bebas dari aturan-aturan keagamaan, aturan-aturan
negara, aturan-aturan adat atau masyarakat.
C. Manfaat Belajar Mandiri
Betapa
besar manfaat belajar mandiri belumlah banyak dirasa oleh peserta
didik, karena belajar mandiri ini belum tersosialisasi di kalangan
peserta didik, budaya belajar mandiri belum begitu berkembang di
kalangan para siswa di Indonesia, mereka masih beranggapan bahwa guru
satu-satunya sumber ilmu, akan tetapi sebagian mereka yang berhasil
dalam belajar karena memanfaatkan belajar mandiri atau belajar yang
tidak terfokus kepada kehadiran sang guru, tatap muka di kelas, dan
kehadiran teman. Indikator ini dapat kita lihat pemberdayaan
perpustakaan sekolah, di mana perpustakaan sekolah dikunjungi oleh siswa
tertentu, bahkan ditemui di sebagian sekolah, perpustakaannya berdebu
dan kelihatan tidak terurus.
Balajar tatap muka di kelas belumlah
cukup untuk menciptakan siswa cerdas dan terampil tanpa dibarengi
dengan belajar terstruktur dan belajar mandiri, belajar terstruktur
berbeda dengan belajar mandiri, belajar terstruktur adalah para siswa
belajar sesuai dengan tujuan, rencana, bahan, dan sumber yang ditentukan
oleh guru. Para guru harus memberi dorongan kepada siswa-siswa untuk
belajar mandiri, dan menghindari pemberian materi otokratis yang akan
menciptakan siswa pasif dan menerima saja atau rote learning (belajar
hafalan). Belajar seperti ini sulit mengembangkan kemampuan siswa, para
siswa kurang inisiatif, banyak ketergantungan kepada orang lain, kurang
mandiri, kurang percaya diri, dan kurang bertanggung jawab.
Ilmu
pengetahuan akan bisa didapatkan melalui sumber-sumber, tempat, sarana,
peristiwa yang berbeda-beda pula, manusia banyak belajar dan di
pengaruhi lingkungan sekitarnya, mungkin seseorang bisa saja belajar
dengan sebatang rambutan di depan rumahnya tatkala ia berproses menuju
buah, dimulai dari bakal bunga, bunga, putik, buat, matang, dan
dinikmati oleh manusia. Proses ini dilalui secara bertahap dan tidak
saling melangkahi tahapannya. Demikian juga dengan manusia berproses
dalam hidup, pekerjaan, karir, dan lain sebagainya.
Belajar
mandiri memiliki manfaat yang banyak terhadap kemampuan kognisi, afeksi,
dan psikomotorik siswa, manfaat tersebut seperti di bawah ini;
o Memupuk tanggung jawab
o Meningkatkan keterampilan
o Memecahkan masalah
o Mengambil keputusan
o Berfikir kreatif
o Berfikir kritis
o Percaya diri yang kuat
o Menjadi guru bagi dirinya sendiri
Di
samping itu juga manfaat belajar mandiri akan semakin terasa bila para
siswa dan mahasiswa menulusuri literatur, penelitian, analisis, dan
pemecahan masalah. Pengalaman yang mereka peroleh semakin komplek dan
wawasan mereka semakin luas, dan menjadi semakin kaya dengan ilmu
pengetahuan. Apalagi bila mereka belajar mandiri dalam kelompok, di sini
mereka belajar kerjasama, kepemimpinan, dan pengambilan keputusan.
Carl
R. Rogers seorang ahli psikoterapi mengemukakan suatu cara mendidik
yang perlu mendapat perhatian kita sebagai guru dan pendidik.
Siswa-siswa tidak hanya secara bebas, artinya tanpa dipaksa
menyelesaikan tugas-tugas dalam waktu tertentu, akan tetapi juga belajar
membebaskan dirinya untuk menjadi manusia berani memilih sendiri apa
yang dilakukannya dengan penuh tanggung jawab.
Pendapat di atas
ini untuk mengembangkan kompetensi siswa, setiap siswa memiliki
kompetensi yang harus dikembangkan, baik itu kompetensi yang nyata,
jelas, dan kompetensi yang samar-samar. Anak merupakan amanah Allah yang
mesti diselamatkan secara fisik dan mental agar mereka menjadi manusia
yang mandiri, bebas, berani, dan menjadi manusia menurut keinginan dan
pilihannya. Belajar mandiri melepaskan diri siswa dari belenggu
tekterkaitan dengan orang lain, pendapat orang lain, paksaan, keinginan,
dan harapan orang lain, akan tetapi menjadi dirinya sendiri.
D. Syarat-syarat Belajar Mandiri
Belajar
mandiri berbeda dengan belajar terstruktur sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnya, akan tetapi belajar terstruktur lebih mudah dibandingkan
dengan belajar mandiri, belajar mandiri lebih sukar dan dilaksanakan
bila syarat-syarat tertentu dapat dipenuhi;
a. Adanya Masalah
Syarat
pertama harus adanya masalah yang menarik dan bermakna bagi siswa.
Masalah harus riil, aktual dan memiliki kaitan dengan kehidupannya,
sehingga menarik bagi siswa untuk mencari jawabannya. Siswa-siswa di
sekolah sering diharapkan dengan sejumlah mata pelajaran yang terpaksa
mereka menguasainya, akhirnya materi itu terkuasai tetapi tidak bermakna
bagi dirinya, mereka mengejar nilai rapor dan ijazah. Belajar mandiri
adalah memberi kebebasan pada mereka untuk mencari, mengidentifikasikan,
memecahkan, mencari solusi, membandingkan, dan menilai sesuatu masalah
yang berkaitan dengan dirinya.
b. Menghargai Pendapat Siswa
Sebagian
besar siswa menerima apa yang diajarkan oleh guru, dan banyak juga guru
yang menganjur siswa-siswa untuk menghafal (rote learning). Di
sekolah-sekolah banyak juga kita menemui siswa-siswa kreatif, aktif,
dinamis, idealis yang merupakan hasil dari belajar mandiri mereka,
kadang-kadang masih ditemui guru-guru yang belum mampu menerima apa yang
tertulis di buku pelajaran tersebut.
Secara psikologis
siswa-siswa membutuhkan penghargaan berupa support dan rewards dari guru
tatkala mereka mendapatkan sesuatu prestasi di kelas, demikian juga
mereka diberi penghargaan dalam bentuk lain, seperti mempresentasikan
tentang materi dari hasil bacaan mereka atau dari temuan bacaan mereka,
hal ini membuat efek psikologis yang sangat besar terhadap teman
sekelas, dan masing-masing mereka merasa terpacu untuk dapat tampil
seperti teman-teman yang lain. Kondisi kebanyakan kelas di sekolah waktu
belajar masih didominasi oleh guru, sebenarnya kelas waktu belajar
harus didominasi oleh para siswa, kondisi yang seperti ini belum banyak
terbudaya di lembaga pendidikan kita.
c. Peran Guru
Motto
yang lekat pada profesi guru adalah tut wuri handayani, ing madyo mangun
karso, ing ngarso sung toludo. Arti motto ini bahwa guru mendorong dari
belakang, guru ditengah memberi semangat, guru di depan memberi
teladan. Andil keadaan guru sangat besar di kalangan siswa, guru yang
akan berubah diperilaku, guru yang memberi pengetahuan, menanam budi
pekerti. Pendidikan di sekolah terjadi karena orang tua/wali memiliki
keterbatasan waktu, dan lain sebagainya. Sekolah merupakan lingkungan
formal yang disediakan untuk mendidik, membimbing, dan melatih anak
secara teratur, berencana, dan sistematis.
Guru merupakan wakil
dari orang tua dan wali mempunyai kewajiban mengisikan intelektual,
sikap, dan keterampilan anak di sekolah. Guru juga sebagai ibu/bapak
tempat anak mengadu, bediskusi, bertukar fikiran, memecah masalah, di
samping itu juga guru memiliki hak untuk menghukum, melarang, menasehati
anak tatkala dia salah. Kesuksesan guru sebagai pendidikan di sekolah
berkat kerjasama dengan orang tua di rumah tangga, sebaliknya guru akan
sukar mendidik, membimbing, dan melatih anak di sekolah tanpa kerjasama
dengan orang tua di rumah tangga. Demikian pula para orang tua akan
berhasil mendidik anak-anaknya bila bersenergi dengan guru-guru di
sekolah, orang tua sebagai ayah/ibu anak melimpah wewenang kepada para
guru di sekolah dalam mendidik anak-anaknya jangan ibarat pepatah
masyarakat jambi “ayam dilepas tali diijakkan” artinya pemberian
wewenang yang dikendali oleh pemilik (orang tua). Orang tua berperan
sebagai alat kontrol dan juga berperan serta mendidik bersama-sama guru
di rumah tangga, dan para orang tua memiliki wewenang untuk mengajukan
usul dan kritikan kepada guru dalam mendidik yang usul dan kritikan
kepada para guru dalam mendidik yang dijembatani oleh komite sekolah dan
merupakan wakil dari orang tua para siswa.
Mencipatakan belajar
mandiri guru harus mampu bekerjasama dengan orang tua di rumah tangga
dan masyarakat di sekitar anak. Kerjasama yang baik ini akan membuahkan
hasil berupa anak-anak didik yang berkualitas mandiri. Kita memahami
kondisi ekonomi masyarakat, tidaklah semua mereka berkecukupan dalam
segi ekonomi, namun kita mensuport semangat menyekolah anak-anak mereka,
ekonomi mempengaruhi lingkungan belajar, akan tetapi tidak mutlak.
Anak-anak yang mandiri akan mampu lepas dari cengkraman ini walaupun
jumlahnya sedikit, mereka yang mandiri menjadi orang-orang yang berhasil
dalam hidupny. Demikian juga belajar mandiri, anak-anak sudah banyak
tersita waktu belajar di sekolah dan di tempat kursus sehingga pulang
mereka ke rumah lelah, maka di sini para orang tua memiliki andil
menciptakan suasana belaja rumah tangga, sehingga anak-anak selalu dalam
lingkungan balajar yang tidak menjenuhkan, dilakukan alam kondisi yang
rilek dan menyenangkan.
Bila kita ingin agar anak didik mau
belajar terus sepanjang hidupnya, maka pelajaran di sekolah harus
merupakan pengalaman yang menyenangkan baginya. Siswa sering frustasi
karena mendapat angka yang rendah di samping teguran, kecaman, dan
celaan akan benci terhadap segala bentuk pelajaran formal dan tidak
mempunyai cukup motivasi untuk melanjutkan pelajarannya. Tentulah
angka-angka yang baik hanya diberikan kepada sejumlah kecil dari
siswa-siswa, maka sebagian besar yang mendapat angka rendah dan memahami
frustasi akan berhenti belajar dan tidak mengembangkan bakat yang dapat
disumbangkan kepada masyarakat. Bila guru dapat membimbing, mendidik,
dan melatih anak sehingga berhasil, maka ini merupakan keuntungan besar
bagi siswa, orang tua maupun negara.
d. Menghadapi siswa
Guru
di sekolah akan selalu berhadapan dengan para siswa/anak didik yang
berbeda tingkat umur sesuai dengan jenjang satuan pendidikan
dihadapinya. Membimbing, mendidik, melatih pada setiap tingkat tidaklah
sama. Nabiyullah Muhammad SAW menganjurkan kepada umatnya agar
“berbicara terhadap seseorang sesuai dengan tingkat umur dan
fikirannya”. Jhon Dewey seorang tokoh pendidik sosial dan filasuf
Amerika (1859 – 1952) mengatakan “jangan menganggap anak kecil seperti
orang dewasa yang bertubuh kecil” dan juga;
§ Kita harus mengetahui apa yang ada pada si anak untuk dikembangkan.
§ Kita harus mengetahui kemana potensi-potensi itu harus disalurkan.
§ Semuanya harus diabaikan kepada kehidupan sosial Pendidikan adalah proses sosial.
Dewey menunjuk kepada 4 corak pada anak;
a. Sosial,
b. Suka membentuk/membangun,
c. Suka menyelidiki,
d. Suka kepada kesenian sebagai suatu alat ekspresi.
Perkembangan intelektual anak menurut hasil penelitian J.Piaget (dalam S.Nasution, 2005; 7 – 8) dapat di bagi dalam tiga taraf.
1.
Fase pra-operasional, sampai usia 5 – 6 tahun, masa pra sekolah, jadi
tidak berkenaan dengan anak sekolah. Anak pada umur ini belum dapat
membuat perbedaan yang tegas antara perasaan dan motif pribadinya dengan
realitas dunia luar. Misalnya ia mengatakan, matahari bergerak karena
dorongan Tuhan, dan bingtang-bintang, seperti ia sendiri, ia harus
tidur. Ia belum memahami konsep “reversibility”, misalnya bahwa benda
diubah bentuknya, misalnya yang terbuat dari tanah liat, dapat
dikembalikan (di-reverse) kepada bentuk semula. Karena itu belum dapat
memahami dasar matematika dan fisika yang fundamental, bahwa suatu
jumlah tidak berubah bila dibagi dalam ebberapa bagian, atau bahwa berat
sesuatu tidak berubah bila bentuknya berubah. Pada taraf iini
kemungkinan untuk menyampaikan konsep-konsep tertentu kepada anak
sangant terbatas.
2. Fase operasi konkrit. Dengan operasi
dimaksud usaha untuk memperoleh data tentang dunia realitas dan
mengubahnya dalam fikiran kita sedemikian rupa sehingga dapat disusun
atau diorganisasi dan digunakan secara selektif dalam pemecahan
masalah-masalah.bola bilyar yang digulingkan ke tepi meja akan
dipantulkan menurut sudut bola itu mengenai tepi meja itu. Anak yang
berusia 4 – 5 tahun tidak melihat sebagai sesuatu problem masalah. Anak
yang lebih tua, misalnya 10 tahun, melihat adanya hubungan itu dan anak
yang berumur 13 – 14 tahun dapat melihat bahwa kedua sudut itu sama.
Kemampuan anak untuk memahami gejala itu beruntung pada operasi mental
masing-masing.
Pada taraf ke –2 ini operasi itu
“internalized” artinya dalam menghadapi suatu masalah ia tidak
perlumemecahkannya dengan percobaan dan perbuatan yang nyata; ia telah
dapat melakukannya dalam fikirannya. Internalisasi ini sangat penting
karena dengan itu ia telah memiliki sistem simbiolis yang menggambarkan
dunia ini. Namun pada taraf operasi konkrit ini hanya dapat memecahkan
masalah yang langsung dihadapinya secara nyata. Ia belum mampu
memecahkan masalah yang tidak dihadapinya secara nyata atau konkrit atau
yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Ia belum sanggup
mengantisipasi hal-hal yang tidak ada. Ia belum dapat melihat
kemungkinan-kemungkinan alternatif untuk memecahkan masalah. Pada usia
antara 10 – 14 tahun anak itu lambat laun beralih kepada fase ke -3,
yaitu fase “formal operations” atau operasional formal.
3.
Fase operasi formal. Pada taraf ini anak itu telah sanggup beroperasi
berdasarkan kemungkinan hipotesis dan tidak lagi dibatasi oleh apa yang
berlangsung dihadapinya atau apa yang telah dialaminya sebelumnya. Ia
telah dapat memikirkan variabel-variabel yang mungkin atau
hubungan-hubungan yang kemudian dapat diselidiki kebenarannya melalui
eksperimen dan obsevasi. Operasi intelektual yang dilakukan oleh anak
pada taraf ini telah banyak persamaannya dengan operasi logis yang
dilakukan oleh ilmuan atau femikir abstrak. Ia dapat memberikan
pernyataan formal tentang ide-ide yang konkrit.
E. Proses Belajar Mandiri
Belajar
mandiri bukanlah belajar individual, akan tetapi belajar yang menuntut
kemandirian seorang siswa atau mahasiswa untuk belajar. Belajar mandiri
pemberian otonomi kepada siswa dan mahasiswa dalam menentukan
arah/tujuan belajar, sumber belajar, program belajar, materi yang
dipelajarinya, tanpa diatur secara ketat oleh guru atau peraturan.
Belajar mandiri adalah upaya mengembangkan kebebasan kepada siswa dalam
mendapat informasi dan pengetahuan yang tidak dikendalikan oleh orang
lain, belajar seperti ini bukan suatu pekerjaan yang mudah dilakukan
setiap siswa, sebagian lebih suka belajar diatur orang lain daripada
diatur oelh dirinya sendiri. Kemandirian adalah memerlukan tanggung
jawab, mereka yang mandiri adalah mereka yang bertanggung jawab,
berinisiatif, memiliki keberanian, dan sanggup menerima resiko serta
mampu menjadi guru bagi dirinya sendiri. Akhirnya para siswa dan
mahasiswa kelak akan menikmati arti hidup sebenarnya dari pada mereka
senantiasa terbelnggu dan selalu diatur oleh orang lain.
Dalam mencipatakan belajar madniri menurut Paulina Pannen (1997; 6 – 7), perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu;
1.
Guru atau dosen harus mampu merencanakan kegiatan pembelajaran
dengan baik dan teliti, termasuk beraneka ragam tugas yang dapat dipilih
untuk dikerjakan oleh siswa dan mahasiswa. Perencanaan kegiatan
pembelajaran dan tugas-tugasnya haruss dilakukan sebelum proses
pembelajaran dimulai (bukan pada saat kegiatan pembelajaran dan
perkuliahan).
2. Perencanaan kegiatan pembelajaran dan
tugas-tugasnya harus dilakukan berdasarkan kemampuan dan karakteristik
awal siswa dan mahasiswa. Guru dan dosen jua perlu memperhatikan bahwa
untuk belajar siswa dah mahasiswa diharap mempunyai keterampilan dalam
manfaat sumber belajar yang tersedia. Jadi, guru dan dosen mempersiapkan
siswa dan mahasiswa untuk memiliki dan menguasai keterampilan yang
diperlukan sebelum meminta mereka belajar mandiri. Misalnya, jika siswa
dan mahasiswa diketahuin belum pernah mengadakan penelusuran literatur,
maka guru dan dosen perlu memberi bimbingan tentang cara penelusuran
literatur sebelum memberi tugas penelusuran literatur. Tugas-tugas
hendaknya direncanakan agar tidak terlalu sulti atau terlalu mudah,
tetapi mampu menantang kreativitas dan daya fikir siswa dan mahasiswa.
3.
Guru dan dosen, dalam rangka penerapan belajar mandiri, perlu
memperkaya dirinya terus meneruskan dengan pengetahuan dan keterampilan
yang belum dimiliki dan dikuasainya dan juga dengan pengetahuan dan
keterampilan yang baru dalam bidang ilmunya. Tugas-tugas yang
direncanakan guru dan dosen untuk dikerjakan siswa dan mahasiswa harus
dapat dikerjakan oleh guru dan dosen.
4. Selain
keterampilan guru dan dosen dalam hal penguasaan ilmu dan perencanaan
pembelajaran, belajar mandiri juga menuntut adanya sarana dan sumber
belajar yang memadai, seperti perpustakaan, laboratorium, studio, dan
lain sebagainya.
Proses belajar mandiri yang diterapkan
kepada siswa dan mahasiswa membawa perubahan yang positif terhadap
perkembangan intleketualitas mereka, mereka akan mampu beridi atas
dirinya sendiri serta menjadi dirinya sendiri. Guru dan dosen bukan
sebagai pengendali dalam proses belajar akan tetapi kendali terletak
pada diri mereka sendiri. Guru dan dosen sebagai penasehat yang memberi
pengarahan kepada siswa dan mahasiswa, dengna pengarahan siswa dan
mahasiswa dapat menentukan tujuan belajarnya, arahan belajarnya,
strategi pencapaian tujuan belajar, dan sumber-sumber yang digunakan
untuk mendukung proses belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar